Rabu, 27 Januari 2010

DOWNLOAD ALBUM TERBARU XXL ( UNTUKKU INDONESIAKU ) 2009 -- XXL PRODUCTION

Full Tracks Lagu2 terbaru XXL ( FREE FOR DOWNLOAD )

1. Bernyanyi Bersama

2. I Have Not A Brain

3. Pesta

4. Cerita Anak Manusia

5. Bosan

6. Mantanku

7. Untukku Indonesiaku

8. Mabok lagi


9. Badut Kampus

10. Aku Kini Berubah

Rabu, 08 Juli 2009

Sistem pers tanggung jawab sosial

Adalah tabiat dasar pers yang merdeka untuk senantiasa bersikap kritis dan selalu memerankan fungsi social control-nya, betapa pun tiran dan otoriternya kekuasaan itu. Di negeri ini, sejak reformasi bergulir, era kebebasan pers bisa dibilang memasuki masa fase bulan madu. Namun, seiring perjalanan waktu, kebebasan pers juga tak luput dari dinamika pasang surut, terutama relasi antara pers versus penguasa. Di negeri kampiun demokrasi seperti AS saja, relasi pers-penguasa tak selalu berjalan mulus. Kasus pemberitaan peristiwa 11 September, perang Irak, atau kebijakan standar ganda AS di Timur Tengah misalnya, telah membuat pemerintah AS gerah. Pemerintah Bush sempat meminta agar pers AS menulis berita secara lebih patriotik.

Saat wartawan Sidney Morning Herald, David Jenkin, melaporkan bisnis keluarga Cendana, Menpen Harmoko langsung menyetop peredaran harian itu di Indonesia. Tak cuma itu, Harmoko juga menuduh wartawan asing yang beroperasi di Indonesia mempraktikkan 'jurnalisme alkohol'. Pejabat Orde Baru, dengan mudah menuduh wartawan sebagai 'corong asing' dan tak segan membredel media yang kritis, seperti terjadi dalam kasus Detik, Tempo, dan Editor tahun 1994 lalu. Faktual, pemihakan sosial pers adalah semacam 'tugas suci' (mission sacre). Pers memang hadir untuk misi itu. Dominasi dan hegemoni kekuasaan sepanjang sejarah politik Indonesia telah melahirkan watak kekuasaan yang demikian sentralistik dan sulit di kontrol. Seluruh kekuatan politik alternatif bisa dibilang tiarap. Hanya pers dan segelintir elemen pro-demokrasi yang berani mengontrol perilaku rezim saat itu.

Di era Gus Dur, konflik pers-pemerintah muncul lewat statement Syamsul Mu'arif, mantan Menteri Negara Kominfo, yang melontarkan istilah 'jurnalisme patriotis'. Intinya, pemerintah meminta pers nasional untuk lebih berpihak pada NKRI dalam pemberitaan konflik Aceh. Sejak itu, pers 'terpaksa' mengubah sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi Gerakan Separatis Aceh (GSA). Komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers kian melemah pada era Megawati. Realitas itu terekam tegas dalam kasus hukum yang menimpa Majalah Tempo beberapa waktu lalu. Ketika kantor dan media ini diserbu dan para wartawannya dianiaya massa akibat berita 'Ada Tommy di Tanah Abang', hanya Amien Rais (Ketua MPR saat itu) yang datang mengunjungi wartawan Tempo.

Ke mana simpati dan empati para pejabat lain atas kasus Tempo? Di masa Yudhoyono, intervensi pemerintah atas kebebasan pers muncul dalam bentuk rencana pemangkasan kewenangan dan fungsi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran nasional. Melalui paket Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran, pemerintah kembali mengoreksi fungsi regulasi KPI, seperti tercermin dalam rencana revisi UU Penyiaran No. 32/2002 dan UU Pers No. 40/1999. Kenaikan status Kementerian Negara Kominfo menjadi Departemen Kominfo oleh Presiden Yudhoyono, tak menjamin fugsi departemen ini sebagai perangkat sosialisasi dan diseminasi informasi semata.

Ada peluang besar, Depkominfo kembali memfungsikan dirinya sebagai state aparatus (represifideologis) daripada sebagai information aparatus, seperti tercermin dari empat PP tentang penyiaran yang menetapkan kedudukan Depkominfo sebagai regulator penyiaran (memegang otoritas perizinan siaran, standar siaran, relai siaran, dan seterusnya). Meski kondisi politik telah berubah, namun rencana revisi UU Pers yang bernuansa developmentalis-otoriter menunjukkan tak adanya perubahan signifikan dalam kultur birokrasi kita. Konservatisme itu muncul sebagai akibat dari cara pandang birokrasi yang melihat pers sebagai alat kelengkapan pembangun dan mitra pemerintah.

Cara pandang ini jelas bertentangan prinsip kemerdekaan pers, yang mewajibkan negara menghargai hak publik dalam mengemukakan perbedaan pendapat dan memperoleh informasi. Ruang publik yang otonom harus dipastikan terus terjaga agar fungsi demokratis media bisa bekerja efektif. Adagium Napoleon Bonaparte, 'pena wartawan lebih tajam dari peluru tentara', mungkin menjadi peribahasa yang melandasi sikap curiga permanen kekuasaan atas pers hingga kini. Padahal, berbagai gerakan demokratisasi yang magnifikansinya mendapat dukungan penuh pers, terbukti mampu melahirkan institusi-institusi negara independen (state auxiliary agencies).

Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitutsi (MK) atau Komisi Yudisial (KY), adalah beberapa lembaga negara independen yang kehadirannya tak bisa dilepaskan dari peran pers. Melalui kehadiran state auxiliary agencies ini, penyelenggaraan kekuasaan negara kini terasa berjalan lebih berimbang, terkontrol, transparan, dan partisipasif. Ironisnya, di era reformasi, kekerasan yang menimpa para jurnalis terus terjadi. Menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Mei 2006 hingga April 2007 setidaknya terjadi 53 kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis dan media dalam berbagai bentuk.

Kasus tersebut antara lain, 8 kasus ancaman, 8 kasus pengusiran, 7 kasus penuntutan hukum, 4 kasus pelecehan, 3 kasus penyensoran, 1 kasus pemenjaraan, 1 kasus penculikan, dan 21 kasus penyerangan oleh massa. Padahal, tanpa kebebasan pers misalnya, pemerintah pusat sulit menyadari bahwa warga negara di hampir tiga perempat propinsi negeri ini mengidap gizi buruk akut, tak punya akses kesehatan, miskin sarana pendidikan, dan belum teraliri listrik. Tanpa pemihakan sosial pers, bisakah pemerintah mendeteksi secara cepat kasus busung lapar yang terjadi di Papua, NTT, NTB, dan wilayah-wilayah lain di Tanah Air? Gencarnya pemberitaan pers dalam kasus kelaparan, gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, lumpur Lapindo, berbagai kecelakaan moda transportasi publik dan sederet tragedi kemanusiaan lain membuat aparatur birokrasi dan masyarakat di semua level bergerak bahu membahu membantu para korban dan keluarganya.

Kita semua bersepakat, bahwa reformasi telah mengulirkan era kemerdekaan pers. Namun, di usia yang relatif muda itu, kita harus tetap waspada untuk terus menjaga dinamika dan konsolidasi pers nasional dari ancaman intervensi negara dan dominasi kepentingan para pemilik kapital yang terus mengintip industri media setiap saat. Tak ada jaminan, pers nasional yang kritis, edukatif, profesional, handal, dan berwibawa bisa bertahan dalam konstelasi politik transitif, dimana posisi negara dan pasar cenderung menguat, sementara posisi rakyat (civil society) kian melemah.

Pers bukanlah sejenis profesi 'super' yang can do no wrong. Seperti institusi dan profesi lainnya, pers juga potensial untuk melakukan kesalahan. Namun, kesalahan itu hendaknya dibaca dalam konteks transisi menuju terbangunnya watak dan institusi pers nasional yang bebas yang merdeka, yang selama 32 tahun hidup dalam kungkungan aturan negara. Dalam konteks ini, secara politis, sosiologis maupun yuridis, perjalanan pers nasional menuju pembentukan jatidirinya selaku aktor demokrasi -yang berwatak social responsibility press- harus dibaca sebagai bagian integral dari proses dan proyek demokratisasi kita yang faktual masih berada tahap pembelajaran menuju pembentukan nilai dan praktik demokrasi yang sesungguhnya.

Menurut McChesney dalam Remaking Media (2006), untuk membangun masyarakat demokratis diperlukan demokrasi sistem media. Dengan kata lain, pers yang bebas adalah syarat mutlak (conditio sin quanon) bagi tegaknya sistem demokrasi. Hampir seluruh pakar demokrasi dan pejuang kemanusiaan bersepakat bahwa tanpa pers yang bebas-merdeka publik dipastikan akan kehilangan fungsi kontrol sosialnya atas entitas kekuasaan. Ketika perilaku kekuasaan kehilangan kontrol publik, maka watak otoriterisme, dominasi, bahkan hegemoni adalah jawaban tunggal dari praktik kekuasaan negara.

Sebagai warga bangsa, kita semua berharap, pers nasional yang kritis, edukatif, profesional, handal, berwibawa dan bebas dari intervensi negara dus rongrongan pemilik kapital bisa sungguh-sungguh tegak berdiri di negeri ini. Jika di era reformasi ini kita kembali gagal merawat institusi pers yang bebas dan merdeka, dan membiarkan pers berada dalam orbit ancaman dominasi negara dan kendali para pemilik kapital, maka harapan akan sukses proyek demokratisasi Indonesia dipastikan bagai pungguk merindukan bulan.

Sistem pers soviet komunis

Sistem Pers Soviet Komunis
System pers komunis berkembang karena munculnya Negara unisoviet yang menganut paham komunis pada awal abad ke20. System ini dipengaruhi oleh pemikiran karl marx tentang perubahan sosial yang di awali oleh dialektika hegel. Pers dalam system ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari Negara. pers menjadi alat atau organ partai yang paling berkuasa sebagai alat propaganda Negara.
Filsafat yang mendasari system ini dalah absolutism, dimana Negara memegang penuh kendali terhadap masyarakat. Masyarakat tidak akan mempunyai kebebasan. Segala sesuatu digunakan untuk kepentingan Negara dan hak individu tidak diakui dalam system ini.
Tujuan utama dari system pers ini ialah memberi sumbangan bagi kesuksesan dan kelanjutan system sosialis sovyet terutama bagi kediktaktoran partai. Penggunaan media hanya diperbolehkan di akses oleh anggota-anggota partai yang loyal. Hal-hal yang dilarang adalah kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai. Dalam system ini media massa ialah milik Negara dan media sangat dikontrol dengan ketat semata-mata di anggap sebagai tangan-tangan Negara.

Minggu, 28 Juni 2009

Pers Otoritarian dan Libertarian

Pers dalam pengertian sempitnya dapat diartikan sebagai media massa cetak seperti surat kabar, majalah tabloid, dan sebagainya. Dalam pengertian luasnya pers berarti suatu lembaga/media massa cetak maupun elektronik (radio siaran, televisi, internet dll) sebagai media yg menyiarkan karya jurnalistik. Pers dalam menjalankan fungsinya merupakan bagian dari subsistem dari sistem pemerintahan yang melalukan fungsi kontrol sosial terhadap pemerintah dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan.
Realitas menunjukkan pers memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungan yang probabilistik. Hal ini disebabkan karena pers selalu bergulat dengan struktur masyarakat yang ada sehingga masyarakat dapat dengan mudah menerima informasi yang disebarkan.
Dari penyebaran informasi inilah kemudian timbul berbagai opini masyarakat tentang suatu kondisi sosial. Ini berarti secara tidak langsung pers memiliki andil besar dalam pembentukan opini masyarakat.
Dalam sejarah perkembangannya, beberapa tokoh seperti Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm telah merumuskan empat teori pers. Dalam bukunya yang berjudul “Four Theories of the Press” dimuat tentang empat teori pers, yang meliputi: authoritarian press (pers otoritarian), libertarian press (pers libertarian), soviet communist (press atau pers komunis soviet), dan social responsibility press atau pers tanggung jawab social.
1. Pers Otoritarian (Authoritrian Press) Pers Otoritarian identik dengan situasi dimana kebenaran dianggap sebagai milik para pemegang kekuasaan. Tidak perduli apakah kebijkan sang penguasa tersebut menindas rakyat atau sebagainya, karena kekuasaan adalah segalanya. Masa ini muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans Eropa, beberapa waktu setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam kondisi masyarakat seperti itu, kebenaran adalah suatu hal yang dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, melainkan dari sekelompok kecil para pemegang tangguk kekuasaan.
Intinya kebenaran dianggap harus diletakkan dekat dengan pusat kekuasaan. Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus penguasa pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja tergantung dari bagaimana pers tersebut menjalankan fungsinya, apakah mendukung atau malah membelot dari kebijakan pemerintah. Kegiatan penerbitan lembaga pers pada masa ini haruslah mengacu pada kontrak persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit. Isi perjanjianpun selalu menyamping pada kepentingan penguasa, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang terakhir memberikan dukungan terhadap kebijakan penguasa.
Yang lebih ironis ialah para pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan yang telah disepakati sebelumnya. Penguasa pun memiliki hak untuk menyensor isi pemberitaan yang akan diterbitkan. Hal ini jelas kontras dengan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan juga dalam menyampaikan kebenaran objektif kepada masyarakat. Informasi yang diterbitkan adalah kontaminasi dari kepentingan para pemegang kekuasaan.
Secara umum, pers masa Otoritarian memiliki ciri antara lain sebagai berikut:
1. Kebenaran adalah milik pemegang kekuasaan.
2. Pers diatur oleh penguasa sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai media kontrol terhadap pemerintahan.
3. Isi pemberitaan harus mendukung kebijakan pemerintah dan tidak boleh membelot dari kepentingan penguasa.
4. Penguasa memiliki kewenangan untuk menyensor isi pemberitaan sebelum dicetak.
2. Teori Pers Liberitarian
berbeda dengan teori Otoritarian Dalam teori Libertarian, pers bukanlah lagi instrument pemerintah yang dijadikan alat penopang kekuasaan melainkan berperan sebagai kontrol pemerintahan. Pers pada masa ini berperan sebagai sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.
Teori Libertarian lahir pada saat tumbuhnya demokrasi politik dan paham kebebasan yang berkembang pada abad ke-17. Hal ini muncul sebagai akibat revolusi industri dan digunakannya sistem ekonomi laissez-faire.
Namun tidak dapat dipungkiri dalam perjalanannya terdapat banyak penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah terdapat pers. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963[6].
Demikian halnya dengan Era Orde Baru (Soeharto) kasus pembredelan pun enggan berlalu, represi diterapkan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers pada 1972, dan ijinnya dicabut karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Masih banyak kasus yang lain hingga puncaknya pada 1998 saat terjadinya aksi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa, pers dianggap membesarkan isu kerusuhan.

Jumat, 29 Mei 2009

Black metal

Black metal diawali oleh band Venom pada tahun 1982 lewat album berjudul Black Metal. lalu diikuti oleh band-band seperti Bathory, Mayhem, Mercyfull Fate, Hellhammer/Celtic Forst. semua band ini ter-Influence sama Venom. Band Black metal masih cenderung bermain Thrash metal. Pada awal 80an sampai 90an, Black metal sangat berkembang di daerah Skandinavia oleh band diatas tadi. Jenis musik metal ini juga termasuk jenis metal underground. Black metal mempunyai Sub-genre bernama NSBM , Neo Nazi Black metal dua komunitas tersebut termasuk yang berpengaruh di komunitas Underground.

Band yang terkenal dari jenis musik ini adalah Dimmu Borgir, Cradle of Filth, Dark Funeral, Emperor dan Immortal

Gitar

* Cepat, didalam Rhytm gitar yang cepat, terselip melodi gitar yang samar-samar dan lama-lama berubah menjadi Alternate picking dan tremolo pick
* Distorsi yang banyak memainkan Power chord.
* Seteman gitar sama persis seperti Death metal. Di Chord D atau Chord C atau lebih rendah lagi.

Drum

* Double bass drum sangat tipis jika dimainkan, sangat bertenaga, kadang bersama-sama dengan pukulan Snare Drum dengan gaya meledak-ledak (hentakan keras). Kadang kita hanya akan mendengarkan bass drum yang berbunyi sedetik.
* Kadang, drum juga bisa bermain sangat lambat, Tergantung suasana musik.
* Bahkan ada kalanya band-band seperti Burzum atau Xasthur sering tidak menggunakan drum dibeberapa lagu.
* Beberapa band menggunakan drum mesin untuk performa lebih baik.

Lirik, Vokal

* Lirik dinyanyikan dengan jelas. Bernuansa kikir, setan yang mengingatkan kepada penyiksaan, dan ini sudah menjadi standar band-band Black Metal.
* Ada yang dinyanyikan bersatu seperti simponi. Lalu band-band Black metal menamakanya Symphonic Black Metal
* Banyak juga yang sering dinyanyikan laki-laki dan perempuan seperti lagu-lagu simponi Gregorian.
* Sering ada efek di vokalnya dan membuat suara seperti Atmospher.
* Lirik sering mengambil kata-kata yang berbau setan, penyembahan berhala, dewa-dewa kuno, tema gaib yang mengutuk agama Kristen (Anti Chrisi).
* Lirik bertema perang, udara dingin, kegelapan, hutan, dan lingkungan alami di eropa.

Keyboard

* Biasanya setingan keyboard, biola, choir, dan organ menyerupai setelan musik gereja supaya meniru suara Kathedral dan orkestra yang terasa sejuk, dingin, samar dan menyedihkan.

Performa

* Tidak suka bermain live dan lebih cenderung bermain gaya. Beberapa band Black Metal seperti Darkthrone menolak untuk bermain live. Banyak juga solo Black Metal seperti Clandestine Blaze, Burzum, Leviathan dan Xasthur juga menolak bermain live karena mereka terdiri dari 1 anggota. Tetapi satu band seperti Satanic Warmaster, bermain bersama musisi ekstra secara khas demi/untuk maksud kinerja live.

*

Jumlah band dengan seorang line-up penuh, seperti Borknagar, Emperor, Gorgoroth, Neurotic of Gods dan Dark Funeral memainkan konser langsung.

* Rata-rata band ingin terlihat tampil se-mengerikan mungkin.
* Kebanyakan band mengecat muka mereka menyerupai mayat (Corpse Paint), dan ini telah menjadi standar musik Black Metal.

Gelombang Pertama

Bibit Black Metal ditanam diawal 80'an yang dikenal sebagai "Gelombang Pertama", ilham paling awal diawali oleh band-band dari Inggris. Lewat band dari britania raya, Venom lewat album debutnya 'Welcome to Hell. Setelah perpecahan dari NWOBHM Metal lebih cenderung mengalami masa dimana band-band lebih mementingkan masa depan gaya dari pada suara/sound.

Gaya pakaian/busana seragam bisa juga mirip yang dipunyai band-band Black Metal; Pantalon kulit, spiked aksesori pergelangan, dll. Personil band juga bisa memakai nama-nama samaran seperti yang dipakai oleh band tersebut: Venom, Mayhem, Graveland, Godkiller, dll.

(Sumber : Wikipedia )

Senin, 25 Mei 2009

DONGKRAK SUARA PARPOL VIA PENGGUNA FACEBOOK???

Ada-ada saja cara parpol di negara Indonesia kita yang tercinta ini untuk memperoleh suara sebanyak mungkin, salah satunya dengan merangkul para pengguna facebook yang menjamur di negeri ini. Sah-sah aja sih cara kaya gini dilakukan oleh Bung Anas Urbaningrum selaku ketua DPP partai Demokrat. cara seperti ini sebenarnya efektif tapi belum tentu optimal, seperti yang kita ketahui yaitu pandangan politik masyarakat kita tentang pemahaman politik bisa dikatakan masih kecil, ada yang bersifat pro dan juga tidak sedikit yang bersikap Apatis terhadap Pemilu 2009 ini.
Aaah... tapi namanya juga pemilu itung-itung iseng-iseng berhadiah, siapa tahu pada pemilu-pemilihan presiden kelak yang empunya parpol bisa dapat suara yang membludak pengguna facebook.
Yang jelas harapan saya selaku warga Indonesia yang turut prihatin dengan nasib bangsa kita ini, semoga dengan moment pemilu-pemilihan presiden kelak kita dianugerahi seorang pemimpin yang bukan hanya asal memimpin dan mendengarkan suara rakyat dan yang paling penting bisa menuntaskan krisis di negara ini. *Amin*